Jumat, 11 Maret 2011

Aqidah dalam Perspektif Ahlussunnah Wal Jama'ah



I. Pendahuluan

Dalam dunia Islam, ketika keyakinan dan pandangan keagamaan disalah-pahami sebagai preferensi kehidupan akhirat dan ketiadaan hukum alam yang pasti terjadilah stagnasi. Keadaan ini diperparah dengan sikap dan mental umat Islam yang menerima hasil pemikiran pendahulunya sebagai taken for granted, dan karenanya tidak bisa diganggu gugat. Maka, selama berabad-abad umat Islam mengalami masa kegelapan, dan baru tersentak sadar ketika Eropa datang ke dunia dengan memperkenalkan peradaban modernnya. Jadi Aqidah disamping merupakan Ibadah Ilmiyah juga mempunyai fungsi strategis dalam pembentukan mental manusia yang progresif dinamis maupun regresif statis.
Pertanyaan yang lalu muncul adalah bagaimana aqidah yang notabene adalah pemahaman manusia terhadap pesan-pesan Ilahi- dapat membentuk mental progresif dinamis dan karakteristik aqidah progresif. Manusia baik secara individual maupun kolektif, mempunyai sifat yang dinamis. Tuhan membekali manusia dengan watak “selalu ingin tahu” Dengan watak tersebut akan selalu mengembara dengan akalnya untuk memenuhi hajat rohaninya. Bahkan ketika manusia sudah sampai derajat yang paling tinggi pun akan selalu haus dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Nabi Ibrahim yang sudah mencapai derajat kenabian masih memerlukan pengetahuan tentang bagaimana Allah menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya ?’ Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya akan tetapi bertambah tetap hati saya...”

Dalam perspektif filosofis, pernyataan Nabi Ibrahim merupakan keraguan positif yang menandai awal kegiatan falsafi seseorang, dan kegiatan falsafi adalah wujud dinamika intrinsik manusia. Dalam bentuknya yang kolektif, yaitu masyarakat, manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu juga bersifat dinamis. Dalam ilmu semantik disebut bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan, dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.
Jadi dalam diri manusia telah tersimpan potensi dinamis, dan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut dibutuhkan aqidah yang dapat memberikan iklim kondusif bagi terciptanya dinamika yang intinya meniadakan hambatan-hambatan bagi berjalannya dinamika dan sekaligus merangsang pertumbuhannya. Dengan merujuk kepada arti etimologis dinamika yang berarti gerak, maka menumbuhkan dinamika adalah memberikan ruang dan keleluasaan bagi gerak manusia. Hal ini bisa terwujud jika manusia dibebaskan dari ikatan-ikatan, baik ikatan tradisi, dogma maupun ikatan kehendak yang mengikat. Dengan melepaskan diri dari ikatan- ikatan, maka akan lahir kreatifitas dan dari kreatifitas akan lahir produktifitas. Untuk membebaskan manusia dari ikatan dogma dan tradisi maka ajaran agama harus dipilah menjadi ajaran yang mutlak dan ajaran yang relatif. Ajaran yang kebenarannya bersifat mutlak yaitu ajaran yang didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir.

II. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan, diantaranya adalah :
1. Sejarah Perkembangan Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah
2. Tokoh- Tokoh Pengembang Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah
3. Prinsip- prinsip pokok Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah

III. Pembahasan
A. Sejarah Perkembangan Aqidah ASWAJA
Sistem pemahaman Aqidah Islamiyyah menurut Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya hanyalah merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dan Khulafa’ur-rosyidin. Tetapi system pemahan ini baru menonjol setelah abad ke-2 H, yaitu setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah. Dalam konteks sejarah para imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang Aqidah atau Ilmu Kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Imam Ahlussunnah wal Jamaah pada saat itu adalah Ali bin Abi Tholib, yang berjasa membendung pendapat golongan Khowarij tentang al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman) dan membendung pendapat golongan Qodariyah tentang Masyi’ah dan Istitho’ah (kehendak tuhan dan daya manusia), serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Sayyidina Ali, masih ada Abdullah bin Amr yang menolak pendapat Ma’bad al-Juhani tentang kebebasan berkehendak bagi manusia.
Sedang Kemunduran Islam oleh banyak kalangan sering dihubung-hubungkan dengan pandangan keagamaan yang bersumber dari Aqidah. Aqidah yang dianut mayoritas Muslim saat itu dituduh tak mampu menyangga kejayaan Islam yang telah dibangun sejak lama. Atas dasar itulah sarjana-sarjana Muslim mulai mencari alternatif yang mampu menjadi penyangga kokoh bagi bangunan besar Islam.
Pada masa Islam klasik, perdebatan Aqidah masih berada pada tingkat perdebatan filosofis. Aqidah diposisikan sebagai kewajiban I’tikady seorang hamba terhadap Tuhannya tanpa melihat implikasinya pada pembentukan mental manusia.
Berbeda dengan dulu, sarjana-sarjana Muslim modern melihat aqidah tidak saja dalam kerangka penunaian kewajban tapi juga dalam fungsi Aqidah dalam membangun sebuah peradaban dengan mengatakan Sesungguhnya Aqidah Islamiyah dalam pandangannya terhadap hakekat wujud, manusia dan alam merupakan ide bagi pembentukan peradaban Islam, karena peradaban adalah buah dari ide-ide manusia dalam memandang alam. Dan sepanjang masa aqidahlah yang akan menggerakkan umat manusia menuju sebuah peradaban
Lebih dari itu, menurut Hasan Hanafi Aqidah bisa menjadi ide dasar bagi munculnya perilaku-perilaku manusia, Beliau menjelaskan: Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan prilaku dan keyakinan yang kuat mentrasformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya.
Secara Sosiologis, Aqidah yang dipersonifikasikan dalam ideal-ideal agama merupakan faktor diterminan bagi dinamika sosial. Dalam masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan pada pertimbangan agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan ditentukan oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; “The Protestan Ethic And Spirit Of Capitalism” menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh motivisional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama (etika Protestan) dan movifasi-motivasi ekonomi (Semangat Kapitalisme).
Di kalangan sarjana muslim sendiri kebudayaan Islam yang tinggi pada zaman klasik disebut sebagai refleksi dinamika sosial yang lahir dari keyakinan serta pandangan keagamaan yang berpusat pada Aqidah. Temuan-temuan baru dibidang sains tekhnolgi dan pemikiran keagamaan semuanya lahir dalam iklim kondusif yang terbentuk oleh pandangan-pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Pada kutub berseberangan, Aqidah dalam bentuk keyakinan dan pandangan keagamaan juga bisa menjadi sumber utama statika sosial.
Di Eropa, pemberontakan terhadap dominasi agama pada abad pertengahan dilakukan karena agama, dalam bentuk yang dipahami penganutnya, dianggap membelenggu kreativitas, menghambat kreatifitas, menghambat produktifitas dan tidak mampu bertindak sebagai motivator bagi terciptanya kemajuan. Lahirlah gerakan sekulerisme untuk mengajarkan agama dalam tempat peribadatan dan menidaklayakkannya sebagai way of life. Lebih Ekstrim lagi, Feurbech dan Karl Marx menganggap agama sebagai “Candu bagi Manusia”.
Persoalan yang dihadapi oleh manusia bahwa dunia sosial dan individunya pada dasarnya telah menjadi begitu kecil. Kodifikasi hukum, ilmu pengetahuan, organisasi rasional dapat membantu merumuskan sarana yang sesuai untuk mencapai sasaran sosial serta tujuan hidup, namun prosedur prosedur tersebut tidak dapat membantu untuk memilih di antara nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing. lImu pengetahuan dapat membantu kita membuat keputusan moral bila dihadapkan kepada berbagai rangkaian tindakan, akhirnya ilmu pengetahuan tidak menjadi relevan pada masalah merumuskan hidup yang baik

B. Tokoh- Tokoh Pengembang Aqidah ASWAJA
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat Imamul A’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya.
Di era tabi’in, muncul beberapa Imam yang mengemban misi Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul Aziz dengan Risalahnya “Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah”, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi ini, muncul imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqih dan imam madzhab juga ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini, diantaranya, imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam Syafi’i dengan karyanya “Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah” dan “ar-Rodd ‘alal Ahwa.”
Setelah periode Imam Syafi’i, muncul muridnya yang berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Abul Abbas ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul Hasan al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan Mu’tazilah. Tetapi semakin menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat banyaknya celah dan kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia 40 tahun beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan yang di hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap mencurigakan dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang menuduhnya menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal seperti, al-Ibanatu ‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi Ilmil Kalam, al-Luma’ dan Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin, menggambarkan betapa imam Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan seruan-seruannya tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.
Perumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah selain Imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil sikap tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum tekstualis (tawasuth Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda kala itu. Kalaupun keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu hanyalah dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas semata.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab “Tathhirul Janan wal Lisan” berkata, “Jika dikatakan siapakah yang dimaksud Ahlissunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan al-Asy’ari dan Abi Manshur al-Maturidi.” Keduanya adalah pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan jasa golongan Asy’ariyah dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab “al-Fatawi”-nya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan Asya’iroh adalah para penolong ushuluddin”.
Selain itu juga termasuk didalamnya ulama- ulama pengemban tugas penyebar ASWAJA dalam bidang Aqidah:
1. Imam Abu Bakar Al Qaffal (wafat th. 365 H)
2. Imam Abu Ishaq Al Faraini (wafat th. 411 H)
3. Imam Al Hafidz Al Baihaqi (wafat th. 458 H)
4. Imam Al Haramain Al Juwaini (wafat th. 460 H)
5. Imam Al Qasim Al Qusairi (wafat th. 465 H)
6. Imam Baqilani (wafat th. 403 H)
7. Imam Ghazali (wafat th. 505 H)
8. Imam Fakhruddin Ar Razi (wafat th. 606 H)
9. Syaikh Abdullah Asy syarqawi (wafat th. 1227 H)
10. Syeikh Ibrohim Al Bajuri (Wafat th. 1272 H) dsb.
Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan bahwa Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul Hasan al-Asy’ari. Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.

C. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah
  • Prinsip Pertama.
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
  • Prinsip Kedua
Dan diantara prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: bahwasanya Iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji'ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..." (Al-Anfaal : 2-4).
 Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya ..." (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma'shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta'at dengan adanya kekafiran.
  • Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema'skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma'shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." (An-Nisaa : 59)
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa ma'shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
"Artinya : Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku". (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama'ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
  • Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu'tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
  • Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
"Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid'ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
  • Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.
"Artinya : Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku". ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
"Artinya : Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia". (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya :Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa'at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka.
  • Prinsip Kedelapan
Dan diantara prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
  • Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
"Artinya : Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
"Artinya : Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa suatu peradaban agar menjadi kokoh harus disanggah aqidah yang mengakui adanya kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan Tuhan yang mengatasi kekuasaan manusia. Ia harus diyakini telah menciptakan keteraturan alam yang dapat dipahami oleh akal manusia dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasib sendiri. Dan bahwa keimanan terhadap kekuasaan tertinggi harus dijabarkan secara implementatif dalam perbuatan manusia baik ritual maupun sosial. Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang bersifat duniawi sebagai penistaan terhadap fitrah manusia justru sebaliknya ia dipretensikan sebagai investasi untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam kerangka keimanan dalam kekuasaan tertinggi tersebut dan dengan akal budi yang dianugerahkanya manusia akan bergerak menuju cita-cita ideal yang berdimensi moral dan kemanusiaan, yaitu pembangunan mental spritual dan material yang berimbang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur'anul Karim
2. Qomari, Ahmad. Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan Konsepsinya. 2003. Jakarta: CV. Wansamerta
3. Nasution, Prof. Dr. Harun, Islam Rasional Gagasan dan pemikiran, ed. Lukman Ali.
4. Thoha, Dr. Abdul Ghoni Al-Ghorib, Muhadlarat Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, diktat Fak. Usyhuluddin Univ. Al-Azhar Zagazig,
5. An Najjar, Abdul Majid, “Darul Islah al-Aqdi Fi An-Nahdah al-Islamiyah”, Islamiyat al-Ma’rifah, (Juni 1995).
6. Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah. Saudi Arabia PO Box 6373 Riyadh 11442: Dar Al-Gasem , penerjemah Abu Aasia.
7. Wikipedia islam, http://waqqash.blogspot.com/2009/04/bio